Halaman

blog-indonesia.com

Kamis, 03 September 2009

SEKILAS YASINAN DAN TAHLILAN

Diskursus pertama yang disampaikan oleh ustadz Abu Ibrahim Muhammad Ali bin A. Mutholib adalah sekilas tentang yasinan dan tahlilan. Di sini ia berusaha menjelaskan kapan yasinan dan tahlilan biasanya dilakukan, siapa saja yang turut serta dalam acara tersebut, apa saja bacaan-bacaan khas dalam acara tersebut, dan lain sebagainya.
Dalam bab ini, ustadz Abu Ibrahim Muhammad Ali bin A. Mutholib (selanjutnya tertulis : MA ) sudah berusaha menggiring para pembaca agar mengingkari dan memberikan stigma negatif terhadap tradisi yasinan dan tahlilan dengan mengobral cerita-cerita miris yang menyayat hati. Untuk lebih jelasnya, perhatikan tulisannya di halaman 23 ;

(MA : 23) "Acara ini telah menjadi satu keharusan yang memberatkan dan terpaksa harus diadakan oleh ahli mayit, sehingga sulit untuk dihindarkan, apalagi dihapuskan, bahkan tidak jarang diantara mereka harus menghutang kesana-kemari demi hanya untuk mengadakan acara tersebut, karena ternyata menurut pengakuan mereka -yang telah meninggalkan acara yang memberatkan ini-, alasan yang paling kuat mengapa mereka harus mengadakannya adalah takut diasingkan, dianggap melawan adat dan tidak bermasyarakat, kalau tidak menyelenggarakan acara itu.
Tidak hanya cukup disitu, bahkan beberapa orang yang gemar mendatangi acara ini tidak segan-segan mengatakan ini adalah sunnah rasul yang seyogyanya terus dilestarikan "

Sebelum kami memberikan tanggapan atas tulisan MA diatas, akan kami jelaskan terlebih dahulu tentang adat menurut perspektif islam, sebab indikasi yang kami fahami dari penggalan tulisan MA diatas, masyarakat tetap menganggap bahwa yasinan dan tahlilan tidak lebih dari sekedar tradisi muslim jawa tradisional*.

I.DEFINISI ADAT
Kata adat berasal dari akar kata 'aud atau mu'aawadah yang mengandung arti berulang-ulang. Secara harfiyyah; adat adalah peristiwa yang terjadi berulang kali tanpa ada keterkaitan antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya secara rasional.
Sedangkan arti adat secara istilah adalah peristiwa yang terjadi berulang kali dan dapat diterima oleh akal sehat; sehingga begitu membekas dalam sanubari.

I.MACAM-MACAM ADAT
Ditinjau dari segi sumbernya; adat terbagi menjadi dua**:
1.Adat syar'i.

Adat syar'i adalah adat yang mendapatkan legitimasi dan atau larangan dari syara'; artinya, Alloh  secara tegas memerintahkannya,-baik berupa perintah yang bersifat wajib atau sunnah- dan atau melarangnya-baik larangan tersebut bersifat haram atau makruh-.
Adat kategori ini merupakan adat yang menjadi bagian dari sendi-sendi syari'at, sehingga keberadaannya tidak akan lekang atau berubah oleh tempat dan waktu dan tidak mungkin mengalami amandemen. Adat syar'i yang dianggap baik -karena diperintahkan- tidak akan mungkin berubah menjadi buruk atau sebaliknya; sehingga apabila ada statemen yang mengatakan " membuka aurat pada saat ini sudah tidak lagi terbilang kebiasaan atau adat yang jelek ", maka statemen semacam ini tidak dapat dibenarkan. Kenapa ? sebab apabila demikian yang terjadi, maka akan terjadi pengamandemenan syari'at yang keberadaanya sudah mapan dan berkesinambungan, padahal, amandemen syari'at setelah Rasululloh r wafat jelas tidak mungkin.
Contoh adat syar'i adalah ; menghilangkan najis, bersuci ketika hendak melaksanakan shalat, menutup aurat, dll.

1.Adat yang berlaku di masyarakat
Adat ini adalah adat yang tidak ditemukan dalilnya; baik dalil yang melarang maupun yang menganjurkannya. Adat kategori ini, ada yang bersifat permanen-statis; seperti hasrat untuk makan, bersetubuh, memukul, berbicara, dan sebagainya, ada pula yang bersifat fleksibel-dinamis, yang dapat berubah-rubah sesuai dengan kondisi waktu maupun tempat, seperti kebiasaan tidak memakai penutup kepala. Di sebagian daerah, adat ini merupakan perilaku jelek dan dapat menghilangkan harga diri pelakunya. Namun di daerah yang lain, adat ini menjadi hal yang biasa, sehingga tidak akan menurunkan martabat pelakunya. Oleh karena itu, hukumnyapun bersifat dinamis. Bagi sebagian daerah, tidak mengenakan penutup kepala termasuk tindakan yang dapat menyebabkan pelakunya dihukumi fasiq, sehingga persaksiannya tidak dapat diterima. Sedangkan di daerah yang lain, tindakan ini sama sekali tidak dapat menyebabkan pelakunya dihukumi fasiq.
------------------------------------------------------------------------------------


*Hal ini penting kami sampaikan, karena ada sebagian orang yang bersikap antipati terhadap sebuah adat dan mengklaimnya sebagai tindakan bid'ah, dan ada sebagian orang yang salah kaprah menganggap bahwa tradisi tak ubahnya laksana tuntunan agama. Harapannya jelas, agar kita dapat memahami secara utuh tentang adat istiadat menurut perspektif agama, sehingga lebih arif dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada.

** Sedangkan adat ditinjau dari cakupannya juga terbagi menjadi dua, 1] adat yang bersifat menyeluruh ('am), 2] adat yang cakupannya khusus (khash). Namun tidak kami uraikan secara gamblang disini guna mempersingkat pembahasan.
------------------------------------------------------------------------------------





I.ADAT, BISAKAH DIJADIKAN HUJJAH ?
Ibnu Mus'ud ra. berkata;
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ***

"Segala sesuatu yang dinilai baik oleh oleh umat islam, maka baik pula menurut Alloh "
Hadits (atsar) diatas oleh mayoritas ulama dijadikan sebagai dalil bahwa adat-istiadat bisa dipergunakan sebagai hujjah untuk merumuskan sebuah hukum, dengan catatan adat tersebut tidak bertentangan dengan nash sharih maupun kaidah-kaidah ushul yang telah mapan.
Imam al-Sarkhasi berpendapat bahwa segala trasidi yang berlaku di tengah-tengah masyarakat dan tidak ditemukan dalil yang melarang akan keberadaannya secara khusus, maka hukumnya boleh untuk dilaksanakan****.

-------------------------------------------------------------------------------------

*** Hadits ini sebenarnya memiliki jalur riwayat yang beraneka ragam, ada yang diriwayatkan secara marfu', ada pula yang diriwayatkan secara mauquf.
Melalui jalur riwayat yang marfu', hadits ini diriwayatkan melalui jalur riwayat Sulaiman bin 'Amr al-Nakha'iy sampai kepada Anas bin Malik. Hanya saja mata rantai sanadnya dinilai bermasalah karena perawinya adalah al-Nakha'iy yang kredibilitasnya dalam meriwayatkan hadits amat diragukan, sehingga tidak satupun ulama ahli hadits yang memberikan penilaian positif terhadap hadits ini-melalui jalur riwayat marfu'-. Menurut Al-Ala'iy, hadits ini berstatus gharib ( karena perawinya hanya al-Nakha'iy sendirian), sedangkan menurut al-Hafidz Ibnu Abdul Hadi, hadits ini mata rantai rawinya gugur. Imam Ahmad ibn Hambal menilai bahwa hadits ini adalah hadits maudlu', sebab Sulaiman bin 'Amr al-Nakha'iy di mata beliau adalah seorang pemalsu hadits.
Sedangkan apabila melalui jalur mauquf, hadits ini memiliki tiga jalur riwayat,
Pertama, melalui 'Ashim dari Zirr bin Hubaisy dari Ibnu Mas'ud. Jalur riwayat inilah yang dilalui oleh imam Ahmad bin Hambal, al-Bazzar(dalam kitab musnadnya), al-Baihaqy (dalam kitab al-Madkhal) dan al-Hakim dalam mustadrak ( dengan sedikit penambahan diahir hadits berupa kata-kata; "Seluruh sahabat sependapat mengangkat Abu Bakar menjadi khalifah"). Menurut ulama ahli hadits, jalur riwayat ini merupakan mata rantai rawi yang bagus, bahkan ada yang menilai shahih, sebagaimana penilaian al-Hakim dan diamini oleh al-Dzahaby.
Kedua, melalui jalur al-Mas'udy dari 'Ashim dari Abi Wa'il. Jalur kedua ini diriwayatkan oleh Abu Dawud al-Thayalisy (dalam kitab musnadnya), Abu Nu'aim (dalam kitabnya; al-Hilyah, dalam pembahasan biografi Ibnu Mas'ud), al-Baihaqy (dalam kitabnya al-I'tiqad), al-Tabrany (dalam kitabnya; al-Mu'jam), dan al-Khatib al-Baghdady (dalam kitabnya; al-Faqih wa al-Mutafaqqih). Jalur ini menurut ahli hadits sedikit bermasalah karena terdapat perawi yang lemah, yakni al-Mas'udy.
Ketiga, melalui jalur Abdurrahman bin Yazid. Jalur ini diriwayatkan juga oleh al-Baihaqy (dalam kitab al-Madkhal), dan al-Khatib al-Baghdady (dalam)


****kitabnya; al-Faqih wa al-Mutafaqqih). Jalur terakhir ini dinilai shahih mata rantai rawinya. ( Lihat Nashb al-Rayah Juz 4 Hal. 133, Majma' al-Zawa'id Juz 4 Hal. 177, Maqashid al-Hasanah Hal. 367)
Dari uraian diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hadits riwayat Ibnu Mas'ud tersebut berupa hadits mauquf dengan status hasan.
Lihat al-Mabsuth Juz 12 Hal. 45


-------------------------------------------------------------------------------------




I.HUKUM-HUKUM YANG TERPRODUK BERDASARKAN ADAT
Banyak sekali hukum-hukum islam berlandaskan adat atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Adat akan dipakai untuk menghukumi sebuah masalah yang memang tidak ada batasan-batasan jelas dari syara', seperti ;
Menentukan durasi haidl
Umur minimal haidl dan baligh
Menentukan sedikit dan banyaknya sepuhan emas atau perak
Tempat penyimpanan harta (dalam bab pencurian )
Sebentar atau lamanya durasi waktu antara basuhan satu dengan lainnya ( dalam bab wudlu )
Penentuan banyak sedikitnya gerakan yang bisa membatalkan shalat Menunda mengembalikan barang jualan ketika terdapat cacat.
Dan lain sebagainya

Apabila kita telaah secara mendalam, sedikit sekali ditemukan satu bab fiqh yang tidak ditemukan campur tangan adat dalam hukumnya. Hal ini memberikan bukti nyata bahwa adat memiliki peranan yang tidak dapat dianggap kecil. Bahkan, banyak kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan erat dengan adat seperti;
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
"adat-istiadat dapat dijadikan sebagai pijakan hukum"
المُمْتَنِعُ عَادَةً كَالْمُمْتَنِعِ حَقِيْقَةً
" sesuatu yang terlarang menurut adat sama halnya terlarang secara realitas "
الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدِلاَلَةِ الْعَادَةِ
"sebuah realitas akan diabaikan disebabkan terdapat petunjuk adat"
إِنَّمَا تُعْتَبَرُُ الْعَادَةُ إِذَا اطَّرَدَتْ أَوْ غَلَبَتْ
"adat akan dipertimbangkan hanya disaat adat tersebut berlaku atau menggejala"

Tanggapan :
Kesan pertama ketika kami membaca tulisan MA ini adalah, bahwa ia termasuk seorang penulis yang cenderung subyektif, memaparkan segala peristiwa hanya disesuaikan dengan tujuannya, tidak berusaha menampilkan sesuatu apa adanya. Hal ini tercermin dari paparannya dalam bab ini-dan juga bab yang lain-. Uraian MA seputar yasinan dan tahlilan terasa tidak berimbang karena yang ia tampilkan hanya fakta negatif (menurut kacamata penulis) yang terkadang terjadi dalam tradisi yasinan dan tahlilan.
Kami tidak tahu pasti apa motif sebenarnya dari MA. Hanya saja, indikasi kuatnya adalah sebagaimana yang saya sampaikan diatas, ia berusaha menggiring dan mendikte pembaca agar bersikap antipati terhadap yasinan dan tahlilan.
MA mengatakan bahwa yasinan dan tahlilan sudah menjadi satu keharusan yang memberatkan. Maksud dibalik kata "harus" dalam tulisan MA, kemungkinannya ada dua, "harus" karena memang difatwakan demikian, atau karena memang asumsi pelaku sendiri yang menganggap demikian. Apabila yang dikehendaki MA adalah yang pertama, maka tuduhan tersebut sangat tidak berdasar. Adakah bukti-bukti valid yang dimiliki oleh MA tentang tuduhannya? Ulama manakah yang mengatakan bahwa yasinan dan tahlilan adalah sebuah keharusan? Tidak ada satupun yang mengatakannya, bahkan orang paling bodoh sekalipun. Kami meyakini bahwa yasinan dan tahlilan tak lebih dari sebuah tradisi masyarakat muslim tradisional yang didalamnya mengandung amaliyah-amaliyah terpuji, seperti berdzikir, membaca al-Qur'an, shalawat, bersedekah kepada tamu, dll yang pahala dari kesemuanya dihadiahkan kepada mayit.
Lagi pula, kenapa alasan paling kuat -menurut penuturan MA- mereka harus mengadakannya justru karena takut diasingkan, dianggap melawan adat, dan tidak bermasyarakat? bukan karena takut berdosa sebab melalaikan satu kewajiaban/keharusan?. Bisakah MA menjelaskan kejanggalan ini?. Ungkapan masyarakat tersebut justru membuktikan bahwa masyarakat sama sekali tidak memiliki asumsi bahwa yasinan dan tahlilan adalah sebuah keharusan, sebagaimana yang dituduhkan MA.
Mungkin sekali yang dikehendaki MA adalah yang kedua, karena yasinan dan tahlilan memang sudah sangat berkembang dan berurat akar ditengah-tengah masyarakat. Jika ini yang dikehendaki MA, maka ia secara tidak langsung mengakui bahwa akar masalah sebenarnya bukan pada yasinan dan tahlilannya, melainkan salah persepsi dari segelintir orang. Ini tentu menjadi tugas kita semua untuk memberikan pengertian kepada mereka tentang hakikat yasinan dan tahlilan dari sudut pandang islam, bukan malah menyalahkan dan mengklaim bid'ah. Kesan "harus" karena faktor tradisi adalah hal berbeda dengan kesan "harus" karena memang diyakini. Satu contoh yang berkembang di kalangan masyarakat ketika hari raya tiba, mereka rela menempuh perjalanan nan jauh demi berkumpul dengan sanak saudara dan melaksanakan shalat 'ied bersama. Perhatian mereka terhadap shalat 'ied begitu besar sehingga seakan-akan itu adalah sebuah kewajiban. Namun adakah dari mereka yang meyakini bahwa shalat 'ied adalah sebuah keharusan ? beranikah MA menganggap ini sebuah keharusan yang memberatkan karena tradisi seperti yang berkembang?

( MA : 23) "Bahkan tidak jarang diantara mereka harus menghutang kesana-kemari demi hanya untuk mengadakan acara tersebut".

Tanggapan :
Islam mengajarkan kepada kita, agar senantiasa bertindak berdasarkan skala prioritas. Contoh kecilnya bisa kita lihat dalam konsepsi bersedekah. Islam tidak menganjurkan seseorang bersedekah manakala ia memiliki tanggungan hutang atau nafkah yang memang hanya mencukupi untuk diri dan keluarganya, bahkan bisa haram apabila hutang sudah harus dibayar alias jatuh tempo*****, atau ia dan keluarganya tidak memiliki kesabaran kuat untuk mengarungi hidup dalam kesederhanaan. Mengapa demikian? Sebab ia punya kewajiban untuk melunasi hutang atau mengalokasikan hartanya untuk nafkah, sedangkan hukum bersedekah hanya sebatas sunnah. Padahal, meninggalkan sebuah kewajiban hanya demi maraih kesunnahan adalah tindakan keliru dan tidak berdasarkan skala prioritas. Dalam kaidah fiqh disebutkan;
الْوَاجِبُ لَا يُتْرَكُ إلَّا لِوَاجِبٍ
"Sesuatu yang wajib tidak diperkenankan untuk ditinggalkan kecuali karena sesuatu yang wajib pula".

Apabila orang yang beredekah rela hidup dalam kesederhanaan dan mampu bersabar dalam penderitaan, maka bersedekah baginya adalah sebuah tindakan yang sangat dicintai oleh Alloh ., sampai-sampai Allah menurunkan ayat;
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ [الحشر: 9]
"Dan mereka mengutamakan atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan ( apa yang mereka berikan itu). Dan barang siapa yang terpelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung" (QS. Al-Hasyr [59] : 9)

Ayat diatas turun berkenaan dengan perilaku salah seorang sahabat Anshar yang bersedia menjamu tamu Rasulullah . disaat beliau sendiri tidak memiliki persediaan makanan. Setelah tamu tersebut dibawa kerumahnya, ternyata ia hanya memiliki persediaan makanan untuk anak-anaknya. Akhirnya, ia menyuruh istrinya untuk menyiapkan hidangan, menyalakan lampu, kemudian menidurkan anak-anak. Setelah semuanya tertidur, lentera dimatikan dan mereka berpura-pura ikut menyantap hidangan bersama sang tamu. Kesesokan harinya ketika ia bertandang kepada Rasulullah r, beliau bersabda; "Semalam Allah tersenyum (ridlo) melihat perilaku kalian berdua"2******.
Dari uraian diatas, dapat difahami bahwa menghutang demi untuk dijadikan jamuan atau disedekahkan dalam rangkaian yasinan dan tahlilan bukanlah satu hal yang buruk, selama hal tersebut tidak menyebabkan terbengkalainya hak-hak orang lain, seperti nafkah keluarga dan hak orang yang menghutanginya.


-------------------------------------------------------------------------------------

***** Selama uang yang akan ia sedekahkan tidak mencukupi untuk membayar hutang sekaligus. Apabila dengan bersedekah ia masih bisa melunasi hutangnya, dan mau bersabar dalam penderitaan, maka sedekahnya tetap dianjurkan.
******Untuk lebih jelasnya, lihat Shahih al-Bukhari no. 3514


-------------------------------------------------------------------------------------



Kekeliruan MA terletak pada ghirah keislamannya yang menggebu-gebu namun tidak dibarengi dengan sikap arif dan berbaik sangka pada sesama muslim, sehingga acapkali ia terbur-buru mengambil sebuah kesimpulan, juga kurang cermat dalam menganalisa satu peristiwa.**Ust.Chalimi**


والله أعلم بالصّواب

2 komentar:

  1. assalamuallaikum wr.wb kenapa semua orang banyak yang berasumsi paling benar.kita tengok diri kita masing2,bagaimana pengapdian kita terhadap Allah,kita bercermin apakah ada diantara ibadah yang kita di terima,kalau ada yang menjalankan ya monggo kalau yang meyakini tidak ada faedahnya ya monggo.hanya Allahlah yang tau,wasallamualaikum wr.wb

    BalasHapus
  2. Ass. Wr. Wb.
    Dengan mempertajam perbedaan, tak ubahnya seseorang yang suka menembak burung di dalam sangkar. Padahal terhadap Al-Qur’an sendiri memang terjadi perbedaan pendapat. Oleh sebab itu, apabila setiap perbedaan itu selalu dipertentangkan, yang diuntungkan tentu pihak ketiga. Atau mereka sengaja mengipasi ? Bukankah menjadi semboyan mereka, akan merayakan perbedaan ?
    Kalau perbedaan itu memang kesukaan Anda, salurkan saja ke pedalaman kepulauan nusantara. Disana masih banyak burung liar beterbangan. Jangan mereka yang telah memeluk Islam dicekoki khilafiyah furu’iyah. Bahkan kalau mungkin, mereka yang telah beragama tetapi di luar umat Muslimin, diyakinkan bahwa Islam adalah agama yang benar.
    Ingat, dari 87 % Islam di Indonesia, 37 % nya Islam KTP, 50 % penganut Islam sungguhan. Dari 50 % itu, 20 % tidak shalat, 20 % kadang-kadang shalat dan hanya 10 % pelaksana shalat. Apabila dari yang hanya 10 % yang shalat itu dihojat Anda dengan perbedaan, sehingga menyebabkan ragu-ragu dalam beragama yang mengakibatkan 9 % meninggalkan shalat, berarti ummat Islam Indonesia hanya tinggal 1 %. Terhadap angka itu Anda ikut perperan, yang harus dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT.
    Wass. Wr. Wb.
    hmjn wan@gmail.com

    BalasHapus