Halaman

blog-indonesia.com

Selasa, 23 Maret 2010

BID'AHKAH SESUATU YANG TIDAK PERNAH DILAKUKAN OLEH RASUL??


Oleh Ust. Chalimi

Dalil andalan sekte wahabi dalam rangka mengubur dan menenggelamkan faham ahlussunah yang dimotori oleh ulama-ulama arus utama, adalah adagium syubhat yang sering mereka obral, bahwa setiap prilaku yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullâh adalah bi'dah dan terlarang menurut perspektif agama.
Tentu saja adagium semacam ini telah memakan banyak korban, terutama terhadap mereka yang kurang melek tentang agama dan mudah terlena dengan ucapan manis sekte wahabi. Padahal, adagium semacam ini sebenarnya amat sangat rapuh baj sarang laba-laba, sebab dan tidak didasari oleh bukti-bukti ilmiyyah, hanya bukti-bukti "sampah"
Dalam komunitas ulama ahli ushul, terdapat kaidah yang sangat masyhur terkait permasalahan ini, yakni;
تَرْكُ الشَّيْئِ لاَ يَدُلُّ عَلَى حُرْمَتِهِ
Artinya :"Meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan akan diharamkannya sesuatu tersebut”
Maksud dari kaidah di atas adalah, segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullâh r atau ulama salaf al-shâlih, apabila tanpa disertai adanya hadîts atau atsar yang menjelaskan bahwa hal tersebut terlarang, maka sama sekali tidak menunjukkan akan diharamkannya sesuatu tersebut.
Kaidah ini, terbentuk berdasarkan beberapa pertimbangan, yakni;

Hadîts riwâyat Ibn 'Abbâs t
Beliau meriwâyatkan, Rasulullâh r tidak jadi mengkonsumsi daging yang disuguhkan oleh Maymunah, setelah beliau mengetahui bahwa daging tersebut ternyata daging biawak. Melihat sikap Rasulullâh r ini, Khâlid ibn Wâlid bertanya;”Apakah binatang ini haram wahai Rasulullâh ?” Beliau menjawab;
لاَ وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ
Artinya : "Tidak, hanya saja binatang tersebut tidak ada di daerahku, maka aku merasa jijik"

Ada dua hal yang bisa disimpulkan dari hadîts tersebut  atas; [1] meninggalkannya Rasulullâh r terhadap suatu hal, walaupun sebelumnya hampir dilakukan, tidak menunjukkan bahwa hal tersebut diharamkan, dan [2] sesuatu yang menjijikkan, tidak berarti diharamkan.
Bahasa-bahasa yang menunjukan "larangan" dalam perspektif islam, hanya ada tiga;
Pertama; Dengan menggunakan bahasa Nahy (larangan), seperti firman Allâh U;
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا [الإسراء : 32]
Artinya :"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
                                                         (QS. Al-Isrâ' : 32)
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ  [البقرة :
188]
Artinya : "Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil"
(QS. Al-Baqarah : 188)
Kedua; Dengan menggunakan bahasa tahrîm  (pengharaman), seperti dalam QS. Al-Mâ'idah : 03 ;

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ  [المائدة : 3]
Artinya : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, "
(QS. Al-Mâ'idah : 3)
Ketiga; Dengan menggunakan bahasa celaan terhadap seuatu perbuatan dan memiliki konsekuensi balasan yang tidak baik, seperti sabda Rasulullâh r;
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
Artinya : "Barang siapa melakukan penipuan, maka ia tidak tergolong umatku"

Dari ketiga hal di atas, "meninggalkan suatu amal perbuatan" ternyata tidak termasuk salah satunya.
Berdasarkan firman Allâh U dalam surat Al Hasyr : 7
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا [الحشر
: 7]
Artinya :"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah"
(QS. Al-Hasyr : 7)
Allâh U secara tegas mengatakan;   وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ (Dan apa yang dilarangnya), bukan وَمَا تَرَكَهُ (apa yang ditinggalkannya). Dari ayat di atas dapat difahami, bahwa apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullâh U sama sekali tidak memberikan pengertian bahwa hal tersebut dilarang.
Berdasarkan  hadîts;
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Artinya :"Segala sesuatu yang aku larang, maka jauhilah. Dan segala sesuatu yang aku perintahkan, maka laksanakanlah sebatas kemampuanmu"

Secara gamblang Rasulullâh r menjelaskan, bahwa hal-hal yang harus dijauhi hanyalah yang dilarang oleh Nabi r, bukan yang tidak pernah dilakukan. Andaikan Nabi melarang untuk mengerjakan sesuatu yang tidak pernah beliau lakukan, maka  redaksi hadîtsnya bukanlah مَا نَهَيْتُكُمْ, melainkan مَا تَرَكْتُهُ (sesuatu yang aku tinggalkan) atau paling tidak   مَا لَمْ أَفْعَلْهُ ( sesuatu yang tidak aku kerjakan).
Ulama ushul, mendefinisikan hadîts dengan, "Ucapan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullâh r". Tanpa tambahan " apa yang ditinggalkan Rasulullâh r". Sebab, "meninggalkan" memang tidak bisa dijadikan sebagai bahan bukti atau dalil.
Meninggalkan suatu hal, memiliki banyak sekali  kemungkinan, padahal dalam kaidah ushul dijelaskan;
إِنَّ مَا دَخَلَهُ اْلإِحْتِمَالُ ، سَقَطَ بِهِ اْلإِسْتِدْلاَلُ
 Artinya :"Sesungguhnya sesuatu yang mengandung banyak kemungkinan, tidak bisa dijadikan dalil”
Perbuatan "meninggalkan" tergolong asal, sebab ia sama artinya dengan "tidak melakukan", padahal, "tidak melakukan" merupakan asal, sedangkan "melakukan" adalah hal yang baru datang. Secara bahasa maupun syara', suatu asal tidak memiliki keterkaitan dengan hukum sama sekali. Dari sini dapat ditarik benang merah, bahwa sikap "meninggalkan" tidak mengarah pada hukum haram.

Ketentuan di atas, juga berlaku untuk ulama al-salaf al-shâlih. Artinya, apa yang ditinggalkan oleh ulama salaf al-shâlih sama sekali tidak memberikan pengertian bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan. Al-Imam al-Syâfi'i mengatakan;
كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ ، فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْهُ السَّلَفُ
Artinya : "Segala sesuatu yang memiliki sandaran dalil dari syara' bukanlah bid'ah, meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf"

Bisa jadi, ulama salaf al-shâlih tidak melakukan hal tersebut karena ada halangan (udzur) pada saat itu, karena ada hal lain yang lebih penting, atau mungkin masing-masing diantara mereka memang tidak mengetahui akan adanya sandaran dalil yang berkenaan dengan hal tersebut.

Mungkin anda akan bertanya; ” Jika memang tidak terlarang dalam perspektif agama, mengapa Rasulullâh r tidak mengerjakannya ? bukankah beliau adalah panutan umat ? ada apa di balik semua itu ?”
Rasulullâh r tidak mengerjakan, atau meninggalkan suatu amal perbuatan, dilatarbelakangi oleh banyak faktor, diantaranya adalah;

Secara fitrah, Rasulullâh r adalah seorang manusia.
Sebagai seorang manusia, tidak mungkin Rasulullâh r dapat melakukan segala macam urusan yang begitu banyak. Disamping itu, juga karena Beliau r lebih memprioritaskan hal-hal urgen yang banyak menyita waktu, seperti menyampaikan risalah, memerangi orang-orang kafir, adu argumen dengan para ahli kitab, dan lain sebagainya, sebagai bentuk usaha untuk membangun pondasi islam pada masa itu.

Meninggalkan karena merasa gamang atau jijik
Ibn 'Abbâs t meriwâyatkan, Rasulullâh r tidak jadi mengkonsumsi daging yang disuguhkan oleh Maymunah, setelah beliau mengetahui bahwa daging tersebut ternyata daging biawak. Melihat sikap Rasulullâh r ini, Khâlid ibn Wâlid bertanya; ”Apakah binatang ini haram wahai Rasulullâh ?” Beliau menjawab;
لاَ وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ
Artinya : "Tidak, hanya saja binatang tersebut tidak ada di daerahku, maka aku merasa jijik"

Meninggalkan karena lupa
Sebagai manusia, Rasulullâh r tentu tidak akan terhindar dari yang namanya lupa. Pernah suatu ketika, beliau lupa dalam shalat, akhirnya salah seorang sahabat bertanya, " Wahai Rasulullâh ! apakah telah turun sebuah wahyu di saat shalat ?” Beliau menjawab " Apa maksudmu?” " Engkau melakukan shalat begini-begini” jawab sahabat. Mendengar jawaban ini, beliau langsung menghadap ke arah kiblat dan bersujud sahwi. Setelah selesai, beliau menghadap ke arah para sahabat seraya mengatakan; 
إِنَّهُ لَوْ حَدَثَ فِي الصَّلَاة شَيْء أَنْبَأْتُكُمْ بِهِ ، وَلَكِنْ إِنَّمَا أَنَا بَشَر أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ ، فَإِذَا نَسِيت فَذَكِّرُونِي
Artinya : "Sesungguhnya apabila ada suatu wahyu yang turun disaat shalat, tentu aku akan menceritakannya kepada kalian. Hanya saja, aku hanyalah seorang manusia, akupun bisa lupa seperti kalian. (oleh karena itu) apabila aku lupa, maka ingatkanlah "

Meninggalan karena tidak terfikirkan atau terbersit dalam sanubari beliau r.
Pada awalnya, Rasulullâh r selalu berkhutbah di atas pelapah kurma. Karena lambat laun umat semakin banyak, akhirnya seorang perempuan dari kabilah anshâr menawarkan jasa;
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا أَجْعَلُ لَكَ شَيْئًا تَقْعُدُ عَلَيْهِ فَإِنَّ لِي غُلَامًا نَجَّارًا قَالَ إِنْ شِئْتِ فَعَمِلَتْ الْمِنْبَرَ
Artinya : " Wahai Rasulullâh, tidakkah aku buatkan sesuatu yang bisa engkau jadikan tempat duduk ?. aku punya seorang anak yang ahli pertukangan”  Beliau menjawab, ” Kalau engkau berkenan”  Akhirnya perempuan tersebut membuatkan mimbar ”

Meninggalkan karena sudah tercakup dalam keumuman sebuah ayat atau hadîts.
Tidak sedikit Rasulullâh r meninggalkan amaliyah-amaliyah terpuji, karena merasa hal tersebut telah tercover oleh sabda beliau atau sebuah ayat yang bersifat umum, diantaranya adalah firman Allâh dalam surat al-Hajj : 77
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  [الحج:77]
Artinya : "Dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan "                                               
(QS. Al-Hajj : 77)

Meninggalkan karena takut diwajibkan oleh Allâh U kepada umat.
Sebagai utusan yang memiliki rasa belas kasihan tinggi, Rasulullâh r mengerti betul akan kondisi umat. Umat Muhammad r bukanlah umat yang berfisik kuat dan berumur panjang sebagaimana umat terdahulu. Karena itulah, terkadang dengan sengaja beliau meninggalkan suatu amaliyah yang dirasa apabila dilanjutkan akan menjadi sebuah kewajiban yang sulit dikerjakan. Dalam sebuah hadîts  dijelaskan, Rasulullâh r tidak keluar rumah -di hari yang keempat- untuk melakukan shalat malam di bulan ramadlan. Ketika para sahabat mempertanyakan hal tersebut, beliau beralasan;  
خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
Artinya : "Aku khawatir shalat malam akan diwajibkan terhadap kalian, namun kalian tidak mampu melaksanakannya"

Dewi ‘A’isyah, istri Rasulullâh r yang paling banyak meriwâyatkan hadîts juga mengatakan;
إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَدَعُ الْعَمَلَ وَهُوَ يُحِبُّ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ خَشْيَةَ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ النَّاسُ فَيُفْرَضَ عَلَيْهِمْ
Artinya : "Sesungguhnya Rasulullâh r meninggalkan suatu amal perbuatam, padahal beliau suka untuk mengerjakannya, karena khawatir para manusia ikut mengerjakannya, akhirnya akan diwajibkan bagi mereka"

Meninggalkan karena khawatir memberatkan umat.
Sebagaimana poin sebelumnya, Rasulullâh r juga sering sekali meninggalkan sesuatu tindakan yang dirasa dapat memberatkan umat. Contoh kecilnya adalah apa yang diceritakan oleh Dewi‘A’isyah ;
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنْ عِنْدِهَا وَهُوَ مَسْرُورٌ ثُمَّ رَجَعَ إِلَيَّ وَهُوَ كَئِيبٌ فَقَالَ « إِنِّي دَخَلْتُ الْكَعْبَةَ ، وَدِدْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ فَعَلْتُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ أَكُوْنَ قَدْ أَتْعَبْتُ أُمَّتِي مِنْ بَعْدِي
Artinya :"Sesungguhnya Nabi r keluar dari rumah Dewi ’A’isyah dengan riang gembira, namun kemudian kembali dengan raut muka sedih. Akhirnya beliau berkata ” Aku telah memasuki ka’bah, (namun) aku lebih suka tidak melakukan itu, (karena) aku khawatir mempersulit umat setelah aku tiada"

Dewi ‘A’isyah juga menceritakan perihal shalat Rasulullâh r setelah ’Ashar ;
وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيهِمَا وَلَا يُصَلِّيهِمَا فِي الْمَسْجِدِ مَخَافَةَ أَنْ يُثَقِّلَ عَلَى أُمَّتِهِ وَكَانَ يُحِبُّ مَا يُخَفِّفُ عَنْهُمْ
Artinya :"Dan Nabi r melakukan shalat (dua rakaat setelah ’ashar). Beliau tidak melakukannya di masjid karena khawatir memberatkan umat beliau. Padahal beliau adalah orang yang suka mempermudah umat"

Meninggalkan karena merasa khawatir hati sebagian sahabat akan berubah.
Pra kemunculan islam, bangsa Arab diselimuti mendung hitam kekufuran dan prilaku amoral-asusila. Carut marut teologi dan kepribadian ini membuat bangsa Arab pra islam mendapatkan julukan miris, ”Jahiliyyah”. Karena masa jahiliyyah ”berkuasa” dalam rentang waktu yang begitu lama, rekonstruksi teologi dan kepribadian yang diusung islam tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, butuh waktu dan cara yang tepat agar berjalan secara maksimal. Inilah yang melatarbelakangi Rasulullâh r bertindak hati-hati dan tidak membabi-buta. Tidak sedikit para sahabat yang baru memeluk islam, sehingga berhati labil. Di awal kemunculan islam, ada hal-hal yang sengaja beliau tinggalkan karena masih labilnya iman para sahabat. Dewi ‘Aisyah meriwâyatkan;
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا حَدَاثَةُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْبَيْتَ ثُمَّ لَبَنَيْتُهُ عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِنَّ قُرَيْشًا اسْتَقْصَرَتْ بِنَاءَهُ وَجَعَلْتُ لَهُ خَلْفًا
Artinya :"Rasulullâh r berkata kepadaku, ” Andaikan kaummu bukan orang yang baru memeluk islam, tentu aku akan memugar ka’bah, kemudian ku bangun sesuai dengan pondasi Ibrâhîm as. Sebab, orang Quraisy telah sembrono (tidak sempurna) membangunnya, dan aku akan memberinya pintu”

Apabila MA melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa terlarangnya karena itu masuk dalam kategori bid'ah, maka inipun tidak dapat diterima. Sebab, terlarang atau tidaknya sebuah amal perbuatan, tolok ukurnya bukan karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi r, melainkan sesuai tidaknya dengan rel-rel syari'at, baik menurut ulama yang mengatakan bahwa semua bid'ah itu sesat, maupun menurut ulama yang membagi bid'ah menjadi Sayyi'ah dan Hasanah. Lebih lengkapnya, silahkan anda baca pada bab; ADAKAH BID'AH HASANAH ?

Akhirnya, pernyataan MA di atas mengingatkan penulis pada qiyas Iblis ketika diperintahkan oleh Allâh U untuk bersujud kepada Nabi Adam as, namun membangkang perintahNya. Ketika ditanya oleh Allâh U; "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?"  Iblis dengan angkuhnya menjawab;
أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ  [الأعراف: 12]
Artinya :"Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah."             
(QS. Al-A'râf : 12)
Apabila dijabarkan, klaim iblis bahwa ia lebih baik dari Nabi Adam as, merupakan konklusi yang terbentuk dari tiga premis;
Premis pertama;
"Iblis tercipta dari Api, sedangkan Adam as tercipta dari tanah".
Premis kedua;
"Api lebih utama dari tanah"
Premis ketiga;
"Setiap mahluk yang tercipta dari unsur yang baik, tentu ia lebih baik dari mahluk yang tercipta dari unsur yang lain"
Kesalahan Qiyas Iblis diatas, -lepas dari kesalahan Iblis karena menentang nash yang sharîh-  terletak pada premis kedua yang penuh dengan kebohongan. Yang benar, api dan tanah memiliki derajat yang sama, dilihat dari sudut pandang bahwa keduanya sama-sama  benda padat. Namun, tanah justru memiliki nilai lebih, karena empat hal;  
Berkarakter berat, tenang, berwibawa, dermawan, pemalu, dan sabar. Hal-hal inilah yang membentuk Nabi Adam as berkarakter rendah diri, suka bertaubat, , dan mendekatkan diri kepada Allâh U, sehingga mendapatkan ampunan dan hidayahNya. Sedangkan api berkarakter ringan, tidak tenang, tajam, inkonsisten, selalu merayap ke atas. Hal-hal inilah yang membentuk Iblis berkarakter sombong dan tidak bisa dikendalikan, yang akhirnya meyebabkan ia celaka, terlaknat, disiksa, dan binasa.
Debu tempatnya di dalam sorga, sedangkan api berada di neraka. Di dalam nash dijelaskan, bahwa debu sorga berupa misik nan semerbak. Namun tidak ada satupun nash yang menyebutkan bahwa di dalam sorga terdapat api ataupun di dalam neraka terdapat debu.
Api merupakan medium untuk menyiksa mahluk-mahluk Allâh U yang berdosa, sedangkan debu tidak.
Api membutuhkan terhadap tempat, yakni tanah, sedangkan tanah tidak membutuhkan api.

Andaikan "dipaksakan" premis kedua dianggap benar, bahwa api lebih baik dari tanah, maka premis ketiga, yakni  mahluk yang tercipta dari api lebih baik dari mahluk yang tercipta dari tanah, juga layak dipertanyakan. Sebab, asal yang baik, belum tentu menghasilkan keturunan yang baik. Orang yang bernasab tinggi misalnya, ia memang lebih baik dari orang yang bernasab rendah. Hanya saja, ketika orang yang bernasab rendah memiliki ilmu yang mumpuni, zuhud, dll. maka sudah pasti ia akan lebih baik daripada seseorang yang hanya bermodalkan nasab tinggi semata. Seorang penyair berkata;

 

قُلْنَا صَدَقْتَ وَلَكِنْ بِئْسَ مَا وَلَدُوا    !    إِذَا افْتَــخَرْتَ بِآبـَاءٍ لَـُهمْ شَرَفُ     
"Andaikan engkau membanggakan diri karena orang tua yang memiliki kemuliaan"
"Maka ku jawab, "Engkau benar, tapi sungguh jelek anak yang terlahirkan"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar