Halaman

blog-indonesia.com

Kamis, 17 September 2009

ADAKAH FADLILAH KEUTAMAAN SÛRAT YASIN?

Pada bab ini, MA mencoba memaparkan beberapa kesalahan-kesalahan-menurut dia- islam tradisionalis berkaitan dengan amaliyah dan keyakinan mereka tentang keutamaan sûrat yasin, dengan melakukan study ktitis hadîts-hadîts yang berkaitan erat dengan keutamaan sûrat yasin. Untuk lebih jelasnya, perhatikan tulisannya berikut;

(MA : 43-44)
مَنْ قَرَأَ : (يس) فِي لَيْلَةٍ أَصْبَحَ مَغْفُورًا لَهُ ُ
"Barangsiapa membaca sûrat yasin pada malam hari, maka dia diampuni (dosanya) dipagi harinya"

Keterangan :
Hadîts ini derajatnya MAUDLÛ'/PALSU, semua jalan perâwi hadîts ini bathil/tidak sah, dan hadîts ini tidak ada asal-usulnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Jauzî dalam al-Maudlû'at 1/247. dan sebab tidak diterimanya hadîts ini karena seorang perâwi hadîts ini yang bernama Muhammad bin Zakariyya adalah seorang perâwi yang suka memalsukan hadîts (lihat mîzânul i'tidâl 3/549) "

Tanggapan :
Entah terlalu mendewakan kelompok dan mahagurunya, seperti Ibnu al-Jauzî, dll, atau karena faktor yang lain, yang jelas MA tidak pernah mau melakukan cross cek secara jujur dari ulama-ulama yang lain tentang status hadîts diatas. Memang salah satu perâwi hadîts diatas, yang bernama Muhammad bin Zakariyya termasuk perâwi yang ditengarai suka memalsukan hadîts, sebagaimana yang disampaikan imam Ahmad ibn Hambal, sehingga status hadîts diatas adalah MAUDLÛ'. Hanya saja, MA lupa-atau mungkin tidak tahu- bahwa hadîts diatas tidak hanya melalui jalur riwâyat Muhammad bin Zakariyya saja, melainkan memiliki jalur riwâyat yang beraneka ragam melalui Abû Hurairah , yang sebagiannya ternyata memenuhi standart/syarat hadîts shahîh , sebagaimana yang dikeluarkan oleh al-Tirmidzî dan al-Baihaqî dalam kitab Syu'ab al-Îmân .

Keanekaragaman jalur riwâyat, dalam disiplin ilmu hadîts disebut syâhid dan atau mutâbi' yang keberadaannya berfungsi mengangkat status hadîts ke strata yang lebih tinggi. Dari hadîts mungkar atau tak ada dasarnya (لاَ أَصْلَ لَهُ ) menjadi hadîts dla'îf, dari hadîts dla'îf menjadi hadîts hasan lighairih, dst.
Karena alasan itulah, klaim MAUDLÛ' yang disampaikan oleh Ibnu al-Jauzî terhadap hadîts ini mendapatkan reaksi keras sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Abdurra'uf al-Munâwî . Menurut al-Albânî, hadîts diatas berstatus DLA'ÎF , bukan MAUDLÛ', sedangkan menurut pendapat yang mu'tamad (bisa dijadikan pegangan) dari ulama ahli hadîts maupun imam yang lain , bahwa hadîts dla'îf bisa diamalkan dalam urusan Fadlâ'il al-a'mâl , selama memenuhi syarat . sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ahmad ibn Hambal, Ibnu al-Mubârak, al-'Anbarî, dll .

(MA : 44)
إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ قَلْبًا وَقَلْبُ الْقُرْآنِ يس وَمَنْ قَرَأَ يس كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِقِرَاءَتِهَا قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ عَشْرَ مَرَّاتٍُ
"Sesungguhnya segala sesuatu memiliki intisari, dan intisari al-Qur'an adalah sûrat yasin. Barangsiapa membacanya, maka Allah akan memberi ganjaran seperti membaca al-Qur'an sepuluh kali"

Keterangan:
Hadîts ini derajatnya "DLA'ÎF JIDDAN/LEMAH SEKALI", diriwâyatkan oleh imam Tirmidzi dalam sunannya no. 3048, di dalamnya ada seorang perâwi yang tidak dikenal bernama "Harûn Abû Muhammad", maka hadîts ini tidak dapat diterima (lihat Silsilah Al-Ahâdîts Adh Dho'îfah no. 169)

Tanggapan :
Statemen MA bahwa hadîts diatas berstatus dla'îf jiddan (begitu lemah) sangat menjanggalkan, mengapa? Sebab dalam disiplin ilmu hadîts, tidak dikenalnya seorang râwi, tidak sampai menghantarkan sebuah hadîts menjadi dla'îf jiddan. Kemungkinan terburuk adalah berupa hadîts dla'îf (tanpa embel-embel jiddan) yang bisa diamalkan sebagai pijakan dalam amaliyah-amaliyah yang termasuk dalam kategori fadlâ'il al-a'mâl . Sayang sekali disini MA tidak menampilkan alasannya kenapa hadîts ini diklaim sebagai hadîts dla'îf jiddan.
Anehnya, pada hadîts berikutnya, yakni;
اقْرَؤُوا (يس) عَلَى مَوْتَاكُمْ ُ
"Bacakan sûrat yasin buat orang mati diantara kalian"
MA mengomentari bahwa hadîts ini dla'îf saja, tanpa embel-embel jiddan dengan alasan yang sama, yaitu tidak dikenalnya salah satu râwi. Apa yang membedakan antara keduanya jika alasannya sama?. Hal ini cukup memberikan bukti bahwa sebenarnya MA tidak punya kemampuan yang memadai dalam disiplin ilmu hadîts, ia hanya memulung pendapat para ulama ahli takhrîj. Parahnya, hasil kutipannya hanya setengah-setengah dan terkesan asal-asalan alias asal comot, sehingga terjadi kontradiktif.
Perlu diketahui, Hadîts diatas disamping diriwâyatkan oleh imam Tirmidzî, diriwâyatkan juga oleh al-Dârimî. Abû 'Îsa al-Tirmidzî, sang perâwi hadîts diatas, mengatakan bahwa hadîts tersebut berstatus gharîb. Sisi ke-gharîb-annya, karena setelah melalui observasi hadîts, beliau tidak menemukan hadîts tersebut dari jalur lain selain dari Humaid ibn Abdurrahman al-Ru'âsî. Sedangkan di tempat tinggal Humaid ibn Abdurrahman al-Ru'âsî sendiri, yakni daerah Bashrah, ulama ahli hadîts tidak mengetahui hadîts tersebut diterima dari Qatâdah kecuali melalui jalur berikut ;
" Dari Humaid ibn Abdurrahman al-Ru'âsî, dari al-Hasan bin Shâlih, dari Harûn Abû Muhammad, dari Muqâtil, dari Hayyan"

Nah, masalah adalah, Harûn Abû Muhammad termasuk seorang râwi yang tidak dikenal .


(MA : 45) "
اقْرَؤُوا (يس) عَلَى مَوْتَاكُمُْ
"Bacakan sûrat yasin buat orang mati diantara kalian"

Keterangan :
Hadîts ini derajatnya "DLA'ÎF/LEMAH ", diriwâyatkan oleh Abû dâwud, ibnu Mâjah, dan Nasâ'î, di dalamnya ada seorang perâwi yang tidak dikenal bernama Abû 'Utsmân, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mundzir dalam 'Aunul Ma'bûd Syarh Abû Dâwud 8/390, begitu pula yang dijelaskan oleh Imam Nawawi, bahkan beliau menambahkan bahwa dalam hadîts ini ada dua perâwi hadîts yang tidak dikenal, yaitu "Abû 'Utsmân dan "Bapaknya", keduanya adalah perâwi majhul/tidak dikenal (lihat al-Adzkâr hal.122)"

Tanggapan :
Sebenarnya hadîts diatas diriwayatkan oleh lebih dari enam râwi, selain diriwâyatkan oleh Abû dâwud, ibnu Mâjah, dan al-Nasâ'î, juga diriwâyatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Hibbân, dan al-Hakîm dari Sulaimân al-Taimî dari Abû 'Utsmân dari ayahnya dari Ma'qil bin Yasâr al-Shahâbî. Ibnu Hibbân dan al-Nasâ'î, dalam riwâyatnya tidak menyebutkan "dari ayahnya". artinya, Abû 'Utsmân menerima langsung dari Ma'qil bin Yasâr al-Shahâbî.
Ulama ahli hadîts berbeda pandangan dalam menilai hadîts ini. Al-Hakîm dan Ibnu Hibbân menilainya shahîh, Abû dâwud tidak memberikan komentarnya , sedangkan kebanyakan ulama menilainya sebagai hadîts dla'îf.
Menyikapi perbedaan pandangan ini, al-Hâfidz Ibnu hajar al-'Asqalânî berkesimpulan bahwa, begitu mudahnya al-Hakîm memberikan penilaian shahîh terhadap hadîts diatas, juga diamnya Abû Dâwud, kemungkinan besar karena memandang hadîts tersebut termasuk kategori fadlâ'il al-a'mâl. Hanya saja, al-Hâfidz Ibnu hajar al-'Asqalânî sendiri sepertinya memiliki pandangan berbeda dengan dua penilaian diatas, yakni menilainya sebagai hadîts hasan lighairih. Indikasinya adalah, setelah kesimpulan diatas, beliau kemudian menjelaskan bahwa hadîts riwâyat Ma'qil bin Yasâr tersebut memiliki syâhid berupa hadîts riwâyat Shafwân bin 'Amr berikut;

حَدَّثَنِي الْمَشْيَخَةُ أَنَّهُمْ حَضَرُوا غُضَيْفَ بْنَ الْحَارِثِ الثُّمَالِيَّ حِينَ اشْتَدَّ سَوْقُهُ فَقَالَ هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ يَقْرَأُ يس قَالَ فَقَرَأَهَا صَالِحُ بْنُ شُرَيْحٍ السَّكُونِيُّ فَلَمَّا بَلَغَ أَرْبَعِينَ مِنْهَا قُبِضَ قَالَ فَكَانَ الْمَشْيَخَةُ يَقُولُونَ إِذَا قُرِئَتْ عِنْدَ الْمَيِّتِ خُفِّفَ عَنْهُ بِهَا
" Para Syekh bercerita kepadaku bahwa mereka pernah mendatangi Ghudlaif bin al-Hârits al-Tsumâlî tatkala ia dalam kondisi sekarat, kemudian ia bertanya;' Siapa diantara kalian yang mau membacakan sûrat yasin? Akhirnya Shâlih bin Syuraih al-Sakûnî membacanya, ketika sampai ayat ke-40, iapun wafat. (Shafwân bin 'Amr ) berkata; ' para syekh kemudian berkata ; sûrat yasin ketika dibacakan kepada mayit, akan meringankan siksanya".

Hadîts diatas berstatus hadîts mauqûf dengan sanad yang hasan, bahkan al-Albânî menilainya shahîh, karena seluruh perâwinya dapat dipercaya. Meskipun ada perâwi yang tidak dikenal, yakni masy-yakhah ( para syekh), namun ketidakjelasan mereka dapat tertutupi dengan jumlah mereka yang banyak. Lagi pula, mereka adalah para tâbi'în yang tidak diragukan kejujurannya, sehingga tidak mungkin perkataan mereka muncul dari pendapat pribadi .
Nah, dari uraian diatas dapat disimpulkan, setidaknya ada tiga poin kejanggalan dari penjelasan MA tentang hadîts riwâyat Ma'qil bin Yasâr diatas;
 Pertama, menilai bahwa hadîts dla'îf tidak bisa diterima adalah penilaian sepihak yang muncul berdasarkan pendapat ulama minoritas, bukan mayoritas.
 Kedua, apabila mau jujur, hadîts diatas masih diperdebatkan statusnya oleh para ulama ahli hadîts, ada yang menilai shahîh, dla'îf, bahkan ada yang menilainya hasan lighairih. Tindakan MA dengan hanya mengutip pendapat yang mengatakan dla'îf saja sebenarnya dapat dimaklumi. Akan tetapi menjadi kurang bijak dan terkesan menganggap dirinya paling benar ketika kemudian ia justru menyalahkan orang yang tidak sependapat dengannya.
 Ketiga, sering sekali MA mengutip sebuah keterangan setengah-setengah disesuaikan dengan kehendaknya sendiri, sehingga terkadang mengecoh para pembaca. Hal ini jelas menimbulkan tanda tanya besar, apa maksud dibalik semua itu? Kalau benar yang dikehendakinya adalah amar ma'rûf nahi mungkar, kenapa harus menutup-nutupi sebuah realita? Dia mengutip keterangan imam Nawawi dalam kitab al-Adzkâr bahwa dalam hadîts ini ada dua perâwi hadîts yang tidak dikenal, yaitu "Abû 'Utsmân dan "Bapaknya", keduanya adalah perâwi majhul/tidak dikenal, namun ia tidak menampilkan keterangan imam Nawawi berikutnya, yakni; " hanya saja Abû Dâwud tidak menghukumi dla'îf hadîts ini". Keterangan imam Nawawi ini memberikan gambaran jelas akan kearifan dan kelapangan hati beliau dalam menyikapi perbedaan. Meskipun beliau berpendapat bahwa hadîts tersebut dla'îf, namun beliau tidak ragu untuk menampilkan pendapat ulama lain apa adanya, tanpa ditutup-tutupi. Inilah ciri-ciri ulama salaf sejati. Bagaimana dengan MA?!


(MA : 45-46) "
إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ تَعَالىَ قَرَأَ (طه) وَ(يس) قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ آدَمَ بِأَلْفَي عَامٍ، فَلَمَّا سَمِعَتِ الْمَلاَئِكَةُ الْقُرْآنَ، قَالُوا : طُوْبىَ ِلأُمَّةٍ يَنْزِلُ هَذَا عَلَيْهِمْ، ، وَطُوْبىَ ِلأَلْسُنٍ تَتَكَلَّمُ بِهَذَا وَطُوْبىَ ِلأَجْوَافٍ تَحْمِلُ هَذَا
"Sesungguhnya Allâh Tabâraka wata'âlâ membaca sûrat Thoha dan Yasin dua ribu tahun sebelum diciptakan Nabi Adam . Ketika para malaikat mendengar (kedua sûrat itu) dari Al-Qur'ân, mereka mengatakan " berbahagialah bagi ummat yang turun Al-Qur'ân ini kepada mereka, alangkah bagusnya lisan-lisan yang berbicara dengan (Al-Qur'ân) ini, dan alangkah bagusnya rongga-rongga yang terisi penuh dengan (Al-Qur'ân) ini".

Keterangan :
Hadîts ini derajatnya "MUNGKAR", dikeluarkan oleh Ibnu Hibbân dalam adh-dhu'afâ' 1/108, ath-Thabrânî dalam al-Mu'jamul Ausath 4873, ad-Darîmî 2/456, dan lainnya. Dalam sanad hadîts ini ada perâwi yang dikritik oleh para 'ulama, seperti imam Ibnu Katsîr yang mengkritik salah satu perâwinya yaitu Ibrâhîm bin Muhâjir ( lihat tafsir Ibnu Katsîr 3/156). Imam Bukhâri dan Ibnu Hibbân mengatakan bahwa dia seorang "Mungkarul hadîts", (lihat Mîzânul I'tidâl 1/67). Bahkan dalam sanad hadîts ini ada perâwi lain yang lemah sekali dan hadîtsnya ditinggalkan, yaitu "'Umar bin Hafsh bin Dzakwân", sebagaimana Imam Ahmad mengatakan, "kami meninggalkan hadîtsnya dan kami bakar (hadîtsnya), demikian juga dikatakan oleh Imam Nasâ'î. (lihat silsilah Ahâdîts adh-Dha'îfah no. 1248)

Tanggapan :
Perlu dijelaskan disini, bahwa hadîts diatas, menurut al-Thabrânî dalam kitab mu'jam al-ausath, hanya memiliki satu jalur riwâyat, yakni;

" Dari Ibrâhîm ibn al-Mundzir al-Hizâmî dari Ibrâhîm bin Muhâjir bin Mismâr dari 'Umar bin Hafsh bin Dzakwân dari Maula (sahaya yang dimerdekakan) al-Huraqah dari Abî Hurairah y "

Dari mata rantai sanad diatas, yang ditengarai bermasalah adalah Ibrâhîm bin Muhâjir bin Mismâr dan gurunya, yakni 'Umar bin Hafsh bin Dzakwân. Ibrâhîm bin Muhâjir ditengarai sebagai perâwi mungkar dan hadîtsnya diabaikan oleh imam Bukhâri, Ibnu Hibbân, dan Ibnu 'Adî, demikian juga gurunya. Bahkan terhadap gurunya, imam Ahmad bin Hambal sampai mengatakan "Kami mengabaikan dan membakar hadîtsnya". Oleh karena itulah, Ibnu Hibbân dan Ibnu al-Jauzî menilai bahwa hadits tersebut berstatus MAUDLÛ'.
Hanya saja, penilaian keduanya ternyata tidak disetujui oleh al-Hâfidz Ibnu Hajar al-'Asqalânî dan al-Hâfidz al-Suyûthî. Ketidaksetujuan tersebut dilatarbelakangi adanya kontra persepsi dalam memberikan penilaian terhadap Ibrâhîm bin Muhâjir. Meskipun dikritik habis oleh imam Bukhâri, Ibnu Hibbân, dan Ibnu 'Adî sebagai perâwi mungkar, namun ia justru dianggap tsiqah (dapat dipercaya) oleh Ibnu Ma'în.
Selain itu, al-Hâfidz al-Suyûthî berargumen bahwa hadîts ini juga dikeluarkan oleh al- Darîmî dalam Musnad beliau, Ibnu Khuzaimah dalam al-Tauhîd, dan al-Baihaqî dalam Syu'ab al- Îmân, padahal al-Baihaqî dikenal tidak pernah mentakhtîj hadîts yang ditengarai MAUDLÛ', sedangkan kitab Musnad al- Darîmî oleh sekelompok ulama diakui sebagai kitab yang shahîh. Satu lagi, Hadîts ini juga diperkuat oleh jalur riwâyat lain, yakni melalui Anas bin Malik, sebagaimana yang dikeluarkan oleh al-Dailamî .
Dalam kitab Athrâf al-'Asyarah, al-Hâfidz Ibnu Hajar al-'Asqalânî menjelaskan;
"Penilaian Ibnu Hibbân yang kemudian diamini oleh Ibnu al-Jauzî bahwa matan hadîts ini MAUDLÛ' tidak dapat dibenarkan, sebab Maula (sahaya yang dimerdekakan) al-Huraqah, yang sebenarnya adalah Abdurrahman bin Ya'qûb termasuk salah satu sumber riwâyat imam Muslim, sehingga meriwayatkan hadîts darinya-meskipun hadîtsnya diabaikan menurut mayoritas ulama dan menurut ulama lain dianggap lemah- tidak bisa dikatakan maudlû' serta tidak dipermasalahkan. Sedangkan Ibrâhîm ibn al-Mundzir adalah salah seorang guru imam Bukhâri"

Meskipun tidak setuju dengan penilaian maudlû', al-Hâfidz Ibnu Hajar al-'Asqalânî tidak menjelaskan secara jelas tentang status hadîts ini. Sedangkan menurut al-'Îrâqî dalam takhrîj al-Ihya', hadîts ini berstatus dla' îf.
Akhirnya, uraian diatas sudah lebih dari cukup untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dikalangan para ulama dalam menyikapi hadîts diatas, sehingga tanggapan kami atas tulisan MA adalah sebagaimana yang kami tuliskan pada hadîts sebelumnya. Yang menarik untuk diungkapkan disini adalah, al-Albânî sendiri terkesan ragu-ragu dan tidak konsisten dalam menyikapi hadîts ini. Dalam karya beliau Silsilah al-Ahâdîts al-Dha'îfah, hadîts ini dinilainya sebagai hadîts mungkar, akan tetapi di dalam karyanya yang lain, yakni Dhilal al-Jannah, hadîts ini dinilai sebagai hadîts dla'îf dengan obyek kritik 'Umar bin Hafsh bin Dzakwân sebagai perâwi yang bermasalah.

KESIMPULAN
Ragam hadîts yang menjelaskan tentang keutamaan sûrat yasin, minimal berstatus dla'îf, sedangkan mengamalkan hadîts dla'îf menurut mayoritas ulama diperbolehkan sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Bahkan, imam Ahmad bin Hambal sendiri begitu menghargai hadîts dla'îf, sampai-sampai beliau memiliki sebuah falsafah;
إِنَّ ضَعِيْفَ الْحَدِيْثِ يُقَدَّمُ عَلَى رَأْيِ الرِّجَالِ
"Sesungguhnya hadîts dla'îf diprioritaskan atas pendapat (pribadi) seseorang (ulama)"
Jadi, apa yang selama ini dilestarikan oleh masyarakat islam tradisionalis, yakni membaca sûrat yasin ketika seseorang menghadapi sakarât al-maut, agar mendapatkan ampunan dari Allâh , dll, bukanlah tindakan ngawur apalagi bid'ah seperti yang dituduhkan oleh MA dan kroni-kroninya.**Ust.Chalimi**

والله أعلم بالصّواب

Tidak ada komentar:

Posting Komentar