Halaman

blog-indonesia.com

Selasa, 01 September 2009

PERMASALAHAN-PERMASALAHAN SEPUTAR MAULID

Permasalahan pertama :



Perayaan Maulid belum pernah dilaksanakan orang-orang terdahulu (generasi salaf / sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in) dan juga tidak dijumpai pada masa Rasulullah SAW, otomatis Maulid adalah bid'ah yg harus diingkari.


Jawaban :


Segala sesuatu yg belum pernah dilaksanakan orang-orang terdahulu dan juga tidak dijumpai pada masa Rasulullah SAW bukan berarti semuanya bid'ah yg harus diingkari, karena jika demikian maka akan haram juga mengenai apa yg dilaksanakan Sahabat Abu Bakar, Umar bin Khathab dan Zaid bin Tsabit RA dalam mengumpulkan Al-Qur'an dan menulisnya pada lembaran-lembaran karena khawatir akan terlantanya (hilangnya) Al-Qur'an akibat wafatnya para Sahabat yg hafal Al-Qur'an. Dan jika demikian maka haram pula hukumnya Sayyidina Umar RA yg mengumpulkan orang-orang agar melaksanakan Shalat Tarawih dibawah pimpinan satu Imam, yg mana saat itu beliau mengatakan : "Inilah sebaik-baik bid'ah" (HR. Bukhari) Dan haram pula membuat karangan dalam segala bidang ilmu yg bermanfaat serta mendirikan pesantren, sekolahan, rumah sakit, panti asuhan, penjara dan lain sebagainya.



Namun sebaliknya, perkara yg baru (bid'ah) tersebut harus dipertimbangkan dengan dalil-dalil syar'ie, sehingga segala sesuatu yg mengandung kemaslahatan hukumnya bisa wajib, atau yg mengandung hal-hal yg haram maka hukumnya haram, atau yg mengandung hal-hal yg makruh maka hukumnya makruh, atau yg mengandung hal-hal yg mubah maka hukumnya mubah, atau mengandung hal-hal yg sunnah maka hukumnya sunnah. Dan juga karena sesuai dengan kaidah fiqh yg mengatakan : "Hukum beberapa perantara itu sama dengan tujuannya".



Jika demikian, maka setiap perkara yg termuat oleh dalil-dalil syar'iyyah namun ketika memperbaharuinya tidak bermaksud untuk menentang syari'at dan tidak ada kemungkaran didalamnya maka itu semua merupakan bagian dari agama. Oleh karena itu para ulama memberi batasan pada kata "Bid'ah" dalam hadits "Kullu bid'atin dlolalah" (Setiap bid'ah itu sesat) HR. Ahmad, Abu Dawud dll) dengan bid'ah yg sesat (Bid'ah sayyi'ah) saja, sesuai sabda Nabi SAW : "Barang siapa dalam agama Islam mempelopori perbuatan yg baik, maka orang tersebut akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yg mengamalkannya (perbuatan tadi) setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala-pahala mereka." (HR. Muslim, Annasa'i dll)




Hadits "Kullu bid'atin dlolalah" tidak boleh kita pahami secara tekstual. Untuk mendapatkan pemahaman yg benar, kita harus menggunakan berbagai macam ilmu yg lain, seperti ilmu gramatika Arab yg mencangkup Nahwu, Sharaf dan Balaghoh. Disamping itu kita juga masih membutuhkan ilmu mantiq (logika) agar kesimpulan yg dihasilkan dari sebuah penalaran menjadi sesuatu yg benar.



Menurut ilmu mantiq, hadits di atas menggunakan redaksi "Kullu" (general), sedangkan tidak semua "kullu" bisa memiliki makna universal, bahkan ada sebagian "kullu" yg menggunakan makna "ba'dlun" (parsial).



Kemudian dalam prespektif ilmu balaghoh, kata "kullu" dalam hadits sangat mungkin menggunakan makna "ba'dlu". Kata tersebut merupakan salah satu dari sekian bentuk majaz mursal. Dalam Uqudul Juman, As-Suyuthi menjelaskan : "Majaz mursal itu seperti lafad "Yad" (tangan) untuk menunjukkan makna "Qudroh" (kuasa), menyebutkan makna parsial dengan menggunakan kata universal, atau menyebutkan makna universal dengan menggunakan kata parsial, atau menyebutkan alat atau pirantinya".



Penyebutan kata universal dengan menghendaki makna spesifik banyak tertera dalam Al-Qur'an, sebagaimana contoh : "Waja'alna minalmaa'i kulla syai'in hayyun" Artinya : "Dan Kami jadikan segala sesuatu yg hidup itu dari air". (QS. Al-Anbiya' 30)



Ayat tersebut menggunakan redaksi yg universal (segala sesuatu), akan tetapi pada kenyataannya tidak semua makhluk hidup tercipta dari air. Dalam ayat lain Allah berfirman : "Dan Allah SWT menciptakan jin dari percikan api yg menyala" (QS. Ar-Rahman 150) kemudian pada firman Allah : "Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yg sangat panas" (QS. Al-Hijr, 27), contoh lain bisa kita perhatikan pada ayat : "Wakana waro'ahum malikun ya'khudu kulla safinatin" yg artinya "Karena di hadapan mereka ada seorang raja yg merampas tiap-tiap perahu". (QS. Al-Kahfi, 79)




Ayat di atas juga menggunakan redaksi universal. Apabila kita memahami secara leksial maka pengertiannya adalah, di hadapan Nabi Khidir dan Musa ada seorang raja yg merampas tiap-tiap perahu, entah perahu baik atau perahu yg telah rusak. Namun pengertian sebenarnya tidak demikian, tidak semua perahu diambil oleh raja, yg ia ambil hanya perahu yg masih baik saja, jadi makna yg dikehendaki adalah makna spesifik. Pengertian ini bisa dibuktikan dengan tindakan Nabi Khidir yg merusak perahu yg ia tumpangi, agar terlihat jelek, dan tidak dirampas oleh raja.



Demikian pula hadits yg menjelaskan tentang bid'ah, hadits tersebut menggunakan teks universal "Setiap bid'ah adalah sesat". Akan tetapi yg kehendaki adalah makna spesifik, artinya tidak semua bid'ah sesat, melainkan ada yg wajib, sunah, mubah dan makruh. Sedangkan bid'ah yg sesat ialah bid'ah yg bertentangan dengan substansi Al-Qur'an, hadits dan Ijma'.



Jika tetap menganggap bahwa setiap bid'ah adalah sesat, maka secara tidak langsung telah menuduh para sahabat yg pernah melakukan inovasi sebagai orang sesat. Padahal di antara sahabat-sahabat tersebut telah melakukan inovasi besar, misalkan Sayyidina Umar RA, beliau merupakan sahabat pertama yg melakukan shalat tarowih dengan berjamaah. Sayyidina Utsman bin Affan RA juga melakukan inovasi dengan menambah jumlah adzan pada shalat Jum'ah. Dan Sayyidina Ali RA yg menjadi kampiun ilmu Nahwu (gramatika arab) juga melakukan inovasi pada bidang tersebut.



Sedangkan menurut prespektif Ushul Fiqih, hadits yg menerangkan bid'ah di atas merupakan hadits 'am dan perlu takhsis. Artinya tidak semua bid'ah sesat. Sedangkan yg sesat adalah bid'ah-bid'ah yg bathil dan tidak mempunyai landasan syari'at. Berbeda dengan bid'ah yg memiliki landasan syari'at. Bid'ah yg demikian merupakan bid'ah hasanah, sebagaimana yg telah dilakukan oleh Khulafa'urrasyidin.



Pentakwilan tersebut bisa kita simak dalam firman Allah SWT ketika menceritakan adzab yg turun pada kaum 'Ad, "Tudammiru kulla syai'in bi'amri robbaha" yg artinya : "Yg menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya". (QS. Al-Ahqaf, 25)



Arti dari kalimat "Tudammiru kulla syai'in" adalah "kulla syai'in yaqbalu at tadmir (segala sesuatu yg bisa untuk dirusak)". Jadi, benda-benda yg tidak bisa dirusak tidak ikut hancur karna adzab itu.



Al-Imam Muhammad ibn Idris Al-Syafi'i telah berkata : Perkara yg baru dan berselisih dengan Al-Qur'an, Hadits, Ijma' dan Atsar adalah bid'ah yg sesat, sedangkan perkara yg baru dari kebaikan dan sama sekali tidak berselisih dengan hal-hal tersebut itu merupakan yg terpuji.



Senada dengan keterangan di atas, Al-Imam Abu Zakariyya Yahya ibn Syarof Al-Nawawiy menjelaskan dalam karyanya yg berjudul Tahdzib Al-Asma' wa Al-Lughat bahwa bid'ah terbagi menjadi dua, beliau mengatakan : "Didalam Syara', bid'ah adalah menciptakan perkara yg tidak dijumpai pada zaman Rasulullah SAW dan bid'ah sendiri terbagi kepada bid'ah hasanah (baik) dan qobihah (buruk), sedangkan yg menunjukan pembagian tersebut adalah perkataan Sayyidina Umar RA yg telah dahulu : "Inilah sebaik-baiknya bid'ah" (HR. Bukhari)



Permasalahan kedua :



Maulid Nabi Muhammad SAW itu dirayakan pada bulan Robi'ul awwal, padahal pada bulan itu juga beliau wafat. Lantas kenapa hanya kegembiraan dengan lahirnya beliau saja yg diperingati, tanpa memperdulikan rasa berkabung atas wafatnya beliau?



Jawaban :



Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuthiy menjelaskan bahwa lahirnya Baginda Nabi SAW adalah suatu nikmat yg paling agung bagi kita. Adapun Syari'at Islam mengajarkan untu melahirkan rasa syukur terhadap nikmat serta bersabar, tenang dan menyembunyikan rasa sedih ketika terkena berbagai musibah. Disamping itu, syari'at juga menuntun agar melaksanakan 'aqiqoh ketika lahirnya seorang anak, akan tetapi tidak menganjurkan untuk menyembelih semisal kambing dan sebagainya ketika seseorang meninggal. Dengan demikian kaidah-kaidah syari'at Islam menunjukkan bahwa yg paling baik dalam bulan Rabi'ul Awwal ini adalah mengungkapkan kegembiraan atas lahirnya Baginda Nabi SAW, bukan mengungkapkan kesedihan atas wafatnya beliau. (Mausu'ah Al-Yusufiyyah hal.149)



Permasalahan ketiga :



Perayaan Maulid termasuk salah satu dari macam sanjungan yg berlebihan dan mensucikan kepada Nabi SAW yg termasuk bagian dari pada perkara yg berdampak mengunggulkan pangkat beliau lebih dari sekedar manusia, padahal beliau pernah bersabda : "Janganlah kalian berlebihan dalam menyanjungku, seperti halnya kaum Nasrani yg menyanjung Nabi Isa ibn Maryam dengan berlebihan, karena sesungguhnya aku hanyalah hamba Allah SWT dan utusan-Nya" (HR. Bukhari)



Jawaban :



Sebenarnya cara mencari dalil untuk menolak perayaan Maulid seperti ini tidaklah benar alias keliru, karena cara menyanjung yg dilarang oleh syari'at adalah seperti cara menyanjungnya kaum Nasrani yg sangat berlebihan dengan menganggap bahwa Nabi Isa AS sebagai anak laki-laki dari Allah SWT, namun ternyata Allah SWT membenci hal itu. Adapun menyanjung Nabi Muhammad SAW dalam perayaan Maulid tidaklah terlampau jauh melewati batas dari menyanjung keutamaan-keutamaan beliau seputar kenabian dan berbagai budi pekerti luhur (Akhlaq Al-Karimah) beliau yg terpuji. Dan kenyataan yg terjadi dalam hal itu, banyak dari kalangan sahabat yg memuji Baginda Nabi SAW, baik ketika beliau masih hidup atau setelah wafat.


Didalam rangkaian sya'ir yg berjudul Burdah, Imam Al-Bushairiy menyampaikan : "Tinggalkanlah tuduhan kaum Nasrani kepada Nabi yg mereka miliki, tetapkan dan kukuhkanlah kepada Nabi, pujian apapun yg kau sukai"

"Sematkanlah pada diri Nabi, segala kemuliaan yg kau kehendaki, nisbatkan pula pada martabat Nabi, segala keagungan yg kau kehendaki"

"Sebab keutamaan utusan Allah Ta'ala, tiada tepi batasnya, sehingga mudah mengurai dapat dirasa, bagi lisan orang yg berkata"

"Akhir dari segala keyakinan yg ada, beliau hanyalah manusia, namun beliaulah makhluk paling sempurna diantara segala"



Sepenggal kisah yg sudah dikenal oleh khalayak umat Muslimin tentang hijrahnya Nabi Muhammad SAW juga turut menjadi saksi bahwa syari'at Islam tidak melarang untuk memuji dan menyanyjung Nabinya, selagi tidak sampai seperti cara yg dilakukan oleh orang-orang Nasrani.



Ketika Rasulullah SAW bersama kaum Muhajirin hampir tiba diperbatasan masuk kota Madinah, dari kejauhan sayup-sayup mulai didengar pujian kaum Anshar dalam rangka menyambut kedatangan Baginda Nabi SAW bersama kaum Muhajirin, sembari memukul rebana (terbang: jawa) kaum Anshar bersama-sama melantunkan pujian : "Thala'al badru alaina, min tsaniyyatil wada'" yg artinya : "Telah terbit bulan purnama diantara kita dari lembah wada'..."



Apakah benar sanjungan dan pujian para sahabat Nabi dan umat Muslimin kepada Baginda Nabi SAW itu semua hal yg melanggar syari'at? Andaikata demikian, kenapa Rasulullah SAW dima saja saa disanjung para Sahabat Anshar?



Dalam suatu peribahasa ada yg mengatakan "diam tanda setuju" ternyata ungkapan tersebut juga dipakai oleh kalangan Muhadditsin (Ulama ahli Hadits) didalam memberikan definisi "Hadits" dengan bahasa : "Hadits adalah segala sesuatu yg disandarkan kepada Baginda Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan ataupun sifat" (Taisir Mustholah Al-Hadits hal.14)



Diamnya Rasulullah SAW saat itu, ternyata bukan hanya diam seribu bahasa, namun mempunyai arti dan maksud tersendiri, yakni menyetujui terhadap apa yg terjadi dihadapan beliau sesuai pernyataan Muhadditsin diatas tentang pengertian Hadits. **soulsick**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar