Halaman

blog-indonesia.com

Kamis, 03 September 2009

KAJIAN HADIS AKAL WANITA

Pendahuluan
Diskursus gender sebenarnya sudah mulai sejak tahun 1960-an seiring dengan munculnya gerakan feminisme Barat di benua Eropa dan Amerika, menuntut kebebasan dan persamaan hak agar kaum perempuan dapat kesetaraan dengan kaum laki-laki dalam sektor publik, seperti ekonomi, sosial dan kekuasaan politik.
Akhirya muncullah para pakar feminis seperti Riffat Hassan, Asghar Ali Engineer, Aminah Wadud Muhsin, Fatimah Mernissi, Julio Cleces Mosse, bahkan bias feminisme juga melanda belahan Indonesia dengan tokoh feminis muda Wardah Hafiz.
Suatu hal yang sangat delematis, wacana yang diberikan para aktivis kajian perempuan menunjukkan bahwa perempuan dilekatkan pada dua simbol yang kontradiktif, satu sisi merupakan simbol kekuatan, perempuan diibaratkan magnet yang mampu membangkitkan gairah jiwa dan memberi rahasia cinta kasih, pemberi rasa nyaman dan penghibur di kala duka. Dialah sang dewi kecantikan dan keindahan yang senantiasa dipuja dan dikagumi, namun di sisi lain merupakan simbol kelemahan, perempuan bagaikan sosok yang tidak memiliki daya dan terpuruk di pojok rumah, mengasuh anak, melayani suami sebagai wujud dari cinta kasih dan pengabdian diri.
Pada kedua sisi tersebut di atas sesungguhnya tidak mengkondisikan wanita pada posisi yang lebih baik, yang muncul justru sikap untuk menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting, lebih buruk dari peranannya sebagai perempuan yang layak dihormati seperti halnya kaum laki-laki.
Padahal Islam telah menekankan keistimewaan manusia sebagai mahluk Tuhan, baik laki-laki maupun perempuan, ia mampu membimbing dirinya sendiri karena anugrah akal yang diberikan oleh Tuhan. Namun (menurut feminisme) kenapa lahir beberapa konsep (baca hadis) yang seakan justru memposisikan kaum perempuan kearah negatif, pendeskriditan, dan sekaligus pelecehan kepada martabat perempuan. Seperti batalnya shalat karena dilalui oleh wanita, kesaksian wanita dinilai separoh, hak waris bagi wanita hanya setengah dari hak laki-laki, pernikahan wanita harus di dampingi wali, kepemimpinan wanita dipermasalahkan, dan sebagainya. Legalitas dari hadis-hadis Nabawi yang mengarah kepada pelecehan martabat wanita itulah yang melahirkan istilah hadis-hadis misogini.
Di tengah keterpurukan perempuan tersebut, hiruk pikuk wacana feminisme mulai bergulir, aktivitas kajian keperempuanan mulai mempersoalkan perbedaan gender yang terjebak kepada dampak ketidaksetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Para feminis berupaya menetralisir kumparan distorsi misogini yang memakai legitimasi agama, dalam hal nilai akal wanita misalnya, asumsi lemahnya akal wanita senantiasa dijadikan topeng untuk mempertahankan status quo superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan sebagai mahluk domestik di sisi lain. Karena mereka yakin bahwa ajaran agama tidak mungkin menindas kaum perempuan, bisa jadi penafsiran dan praktek keagamaan yang manganut bias kultur patriarkhi yang mengakibatkan penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap perempuan? Dan mereka juga mempertanyakan keabsahan hadis-hadis misogini tersebut, setidak-tidaknya interpretasi terhadap teks-teks tersebut.
Tulisan ini diharapkan mampu memaparkan hadis-hadis misogini secara bertahab, dan untuk sesi ini tulisan ini diharapkan menukik kepada tema khusus tentang hadis nilai akal wanita.
Nilai Akal: Kesaksian
Para feminis menilai diskriminatif bila akal wanita dinilai separoh daripada akal laki-laki, padahal sejarah membuktikan dunia telah melahirkan wanita-wanita cemerlang, wanita-wanita produktif, bahkan sebagian mereka mampu mewarnai dunia itu sendiri. Dalam dunia akademis kemampuan wanita juga tidak dapat diremehkan, bahkan sekian banyak dari kaum wanita yang tampil sebagai guru besar. Sosok Mernissi merupakan simbol intelektual wanita yang cukup mumpuni, ia dilahirkan di salah satu harem di kota Fez pada tahun 1940-an, karir intelektualnya membuat dia berhasil memperoleh gelar Ph.D dari universitas Brandeis USA dan akhirnya menjadi guru besar pada universitas Muhammad V di Maroko, ia juga memiliki wawasan sosiologi dan politik yang sangat luas (Lihat Fatima Mernissi. Setara di Hadapan Allah, (Women in Paradise dalam Equal Before Allah), terj. TIM LSPPA (Yogyakarta: LSPPA, 1996) dan dalam Fatima Mernissi. Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan (The Forgotten Queens of Islam) (Bandung: Mizan, 1994).
Demikian pula biografi Riffat Hassan cerminan kehidupan ilmiah, pada usianya yang ketujuh belas dia meninggalkan tanah airnya (Lahore Pakistan) untuk melanjutkan studi di Inggris kemudian hijrah ke Amerika Serikat, kini dia bekerja sebagai guru besar dan ketua program studi agama pada universitas of Louisville, Amerika serikat.
Itulah cerminan satu dari sekian juta wanita ilmuan yang memiliki kecemerlangan akal, namun kenapa masih divonis separoh akalnya kaum laki-laki? Pertanyaan yang muncul, bagaimanakah kita memberikan interpretasi hadis akal wanita tersebut, apakah aspek nilai intelektualitasnya, atau pada aspek lain?, padahal kelau kita cermati secara seksama, pembedaan nilai akal yang dimaksudkan oleh Nabi saw. bukanlah pada aspek intelektualitasnya, malainkan pada aspek nilai kesaksian terhadap tindak al-jarimah (kriminalitas) dan hal tersebut akan tergambar secara transparan dalam kandungan hadis secara utuh, bukan separoh-separoh.
Hadis Kesaksian Wanita
Untuk memahami hadis nilai akal wanita, berikut ini kami paparkan teks hadis yang dimaksudkan:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra., Nabi saw. bersabda: Bukankah nilai kesaksian wanita separoh daripada kesaksian laki-laki? Mereka menjawab: Ya. Nabi saw. bersabda: Itulah makna separoh akalnya.
HR. Bukhari ( al-Haid: 293) (al-Jum’ah: 903) (al-Zakat: 1369) (al-Shaum: 1815) (al-Syhadat: 2464), Muslim (al-Iman: 114) (Shalat al-Idaini: 1472), Nasai (Shalat al-Idaini: 1558, 1561), Ibnu Majah (Iqamat al-Shalat wa al-Sunah fiha: 1278), Ahmad (Baqi Musnad al-Muktsirin: 10637, 10833, 10889, 10954, 11083, 11114) dengan sistem sanad Muhammad bin Ja’far bin Abu Katsir dari Zaid bin Aslam dari Iyadh bin Abdullah bin Sa’ad bin Abu Syarah dari Sa’ad bin Malik bin Sinan bin Ubeid Abu Sa’id al-Khudri ra. dari Nabi saw. Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Abdullah dan Abdurrahman. Periksa skema sistem sanad pada lampiran.
Secara rinci kasus penilaian kesaksian wanita ini dapat kita cermati dalam teks shahih Muslim sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الاسْتِغْفَارَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِي لُبٍّ مِنْكُنَّ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي مَا تُصَلِّي وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ
Dari Abdullah bin Umar ra., Nabi saw. bersabda: Wahai segenap wanita, perbanyak sedekah dan bacaan istigfar, karena saya menyaksikan kalian yang paling banyak menghuni neraka. Seorang wanita mengajukan pertanyaan: Kenapa justru kami yang menjadi penghuni neraka terbanyak wahai Nabi?. Nabi saw. bersabda: Kalian banyak melakukan li’an (pencacimakian) dan ingkar kepada kebaikan suami, saya tidak melihat orang yang nilai akal dan nilai agamanya kurang dibanding daripada kalian. Seorang wanita bertanya: Apa bentuk kekuarangan akal dan agama kami? Nabi saw. bersabda: Kekuarangan akal kalian berupa kesaksian dua wanita sama dengan kesaksian seorang laki-laki, adapun bentuk kekurangan agama, bukankah kalian untuk beberapa saat tidak shalat dan tidak berpuasa (karena haid) di bulan Ramadhan?, itulah kurang nilai agamamu. (Hadis tersebut secara rinci menjelaskan bahwa kekurangan nilai akal wanita bukan pada aspek intelektualitasnya, melainkan pada aspek kesaksiannya.)
Analisis
Hadis di depan adalah sah, dikeluarkan oleh imam Bukhari, Muslim dan lainnya dari riwayat Abu Sa’id al-Khudri ra. Hadis ini juga memiliki kesaksian periwayatan dari Abdullah dan Abu Hurairah ra. Cara penelitian seperti ini mempunyai nilai tambah, sehingga status hadis tersebut tentunya sampai kepada taraf yang sangat meyakinkan akan kebenarannya. Dan dari paparan hadis di depan nampak jelas bahwa yang dimaksud wanita “kurang akalnya”, bukan pada nilai intelektualitasnya, melainkan pada nilai kesaksiannya terhadap tindak kriminalitas.
Apabila dicermati setting masyarakat saat direspon oleh tuntunan seperti ini, maka sangat relevan. Sebagaimana dimaklumi waktu itu para wanita lebih banyak dipingit di rumah-rumah, sekiranya berkeinginan keluar dari rumah mereka selalu didampingi oleh para mahramnya, hal ini sangat berbeda dengan kondisi kaum laki-laki yang kebanyakan usianya justru dihabiskan di luar rumah sebagai pedagang maupun kegiatan lainnya, maka dapat difahami sekiranya penguasaan laki-laki terhadap kondisi lingkungannya mempunyai nilai kecermatan yang lebih tinggi daripada para wanita.
Sisi lain, sebagaimana dimaklumi Islam merupakan agama fitrah. Ini berarti Islam memberikan kedudukan manusia pada nilai keadilan, menempatkan sesuatu pada sisi yang sangat proporsional. Dalam tindak kriminalitas, nilai kodrat laki-laki untuk mencermati fenomena lingkungan di sekitarnya jauh lebih kuat daripada para perempuan. Kaum laki-laki selalu tegar dalam mendengar dan menyaksikan kejadian kriminalitas, sementara para perempuan lebih bersifat pasif bahkan acuh terhadap kasus tersebut, maka sangat logis bilamana nilai kesaksian laki-laki jauh lebih akurat daripada nilai kesaksian wanita. Disinilah nilai sebuah keadilan, yakni menempatkan nilai kesaksian pada proporsi masing-masing, maka menuntut kesetaraan atau kesamaan dalam hal seperti ini jelas merupakan sikap keluar daripada fitrahnya sendiri, dan justru berdampak kepada ketidakadilan.
Apakah nilai kesaksian wanita secara mutlak separoh daripada kesaksian laki-laki? Disinilah kelemahan kita di dalam memahami hadis Nabawi secara totalitas. Sejarah membuktikan bahwa tidak semua kesaksian wanita diposisikan separoh daripada kesaksian laki-laki.
Di dalam kasus-kasus dimana nilai kodrati wanita yang menyangkut dengan kesaksian tersebut lebih kuat daripada nilai kodrati kaum laki-laki, maka Islam justru lebih mengunggulkan kesaksian perempuan daripada kesaksian laki-laki. Kesaksian seorang ibu agar putrinya yang dicerai oleh suaminya tidak dibebani masa iddah karena ibu tersebut secara transparan mendapat informasi dari putrinya bahwa dirinya belum pernah disentuh (baca: disetubuhi) oleh suaminya, atau ibu menyaksikan haidnya putri tersebut, maka nilai kesaksian ibu dalam kasus seperti ini jelas lebih akurat ketimbang kesaksian bapaknya sendiri, apalagi laki-laki lain.
Ketika Nabi saw. mengakad-nikahkan kedua mempelai, tiba-tiba seorang wanita memberikan kesaksian bahwa kedua mempelai tersebut adalah sama-sama saudara susuannya, maka secara tegas Nabi saw. menerima kesaksian wanita tersebut dan membatalkan pernikahan kedua mempelai tersebut. Hal ini sangat berbeda sekiranya seorang atau beberapa orang laki-laki memberikan kesaksian dalam kasus tersebut, munkin Nabi saw. masih mempertanyakan: Susunya siapa ?
Disinilah letak nilai keadilan, karena nilai kodrati dalam kesaksian kasus seperti ini bagi wanita lebih kuat daripada laki-laki, maka nilai kesaksian perempuan diposisikan lebih tinggi daripada kesaksian laki-laki. Sekiranya kaum laki-laki menuntut kesetaraan dan kesamaan dengan wanita dalam kasus seperti ini, bearti ia telah keluar dari fitahnya sendiri, dan justru berdampak kepada ketidakadilan.
Dengan demikian kuat dan tidaknya nilai kesaksian bukan karena bersumber dari jenis laki-laki maupun perempuannya, dalam suatu kasus, siapapun yang mempunyai nilai kodrati yang lebih kuat, maka kesaksian dia-lah yang patut lebih diunggulkan. Disinilah hakekat makna sebuah keadilan.
Maha Benar Rasul dalam sabdanya. Tidaklah beliau mengutarakan sesuatu berdasarkan kepada nafsu birahi, melainkan merujuk kepada wahyu yang telah dianugerahkan kepada beliau”.
Kesimpulan
Slogan kesetaraan dan kesamaan hak secara mutlak antara perempuan dan laki-laki justru merupakan sikap ketidakadilan, dalam kasus-kasus tertentu, nilai kesaksian laki-laki mempunyai keunggulan daripada kesaksian perempuan walaupun tidak dinafikan kesaksian sebagian wanita dalam kasus seperti ini tidak kalah dengan kesaksian kaum laki-laki, demikian pula sebaliknya, dalam kasus-kasus tertentu, nialai kesaksian perempuan mempunyai keunggulan daripada kesaksian kaum laki-laki, walaupun juga tidak dinafikan kesaksian sebagian laki-laki dalam kasus seperti ini tidak kalah dengan kesaksian perempuan.

*****

2 komentar: